Namaku adalah Tiara McRainne, aku mempunyai sahabat bernama
Mutia. Mutia adalah anak yang pintar, dan berani. Arti hidup yang
sebenarnya aku jalani ketika aku mulai bersahabat dengan Mutia. Aku dan
Mutia mempunyai kalung hati yang menandakan persahabatan kami. Di kalung
tersebut, tertulis kata “MUTIARA FOREVER”. Mutiara adalah gabungan dari
nama kami, yaitu Mutia dan Tiara. Persahabatan kami selalu diganggu
oleh “Two Angels”.
Ya, mereka adalah Jessica dan Claura, 2 orang perempuan yang
bersahabat. Mereka memang lebih kaya, lebih putih, kulitnya pun lebih
mulus dariku. Tapi, itu semua tak sebanding dengan sifat mereka yang
terlalu sombong dengan apa yang telah mereka miliki. Mereka selalu
menganggapku itu sebagai sampah yang tak pernah berguna. Hanya aku yang
selalu dihina oleh Jessica dan Claura, karena aku adalah orang miskin.
Berbeda dengan Mutia yang mama dan papanya memiliki perusahaan yang terkenal. Tapi, Mutia sangat baik, dia selalu membelaku habis-habisan. Suatu hari, saat aku dan Mutia sedang bersekolah. Jessica dan Claura datang kepadaku. Memang, saat itu sedang istirahat, siswa diperbolehkan bermain, makan, membaca buku dan lainnya.
Berbeda dengan Mutia yang mama dan papanya memiliki perusahaan yang terkenal. Tapi, Mutia sangat baik, dia selalu membelaku habis-habisan. Suatu hari, saat aku dan Mutia sedang bersekolah. Jessica dan Claura datang kepadaku. Memang, saat itu sedang istirahat, siswa diperbolehkan bermain, makan, membaca buku dan lainnya.
“Tiara! Kamu jangan dekat-dekat Mutia lagi tau! Mutia itu kaya,
cantik, kulitnya mulus, lah… kamu? Kamu itu miskin! Udah deh… jauhin aja
tuh Mutia! Kalau enggak, kamu pasti akan tau akibatnya dari kami!” kata
Jessica mengancamku. Aku hanya menundukkan kepala. Tetapi, berbeda
dengan Mutia, Mutia tidak terima aku dikatakan seperti itu langsung
membela dengan berani.
“Kalian! Jangan sekali-kali mengancam dan mengejek Tiara seperti itu!
Dia adalah manusia yang cantik dari luar maupun dalam! Daripada kalian,
hatinya busuk!” kata Mutia membelaku. “Udah deh Mutia, kamu itu
pantasnya jadi teman kami, bukan jadi teman dia!” kata Claura sambil
menunjuk aku dengan ketus. “STOP! Sana pergi!” kata Mutia yang sudah
tidak tahan lagi dengan “Two Angels”.
Jessica dan Claura pun pergi dengan marah. “Kamu tak apa kan Tiara?
Maafkan mereka ya, kalau mereka selalu menghinamu,” kata Mutia ramah.
“Aku tidak apa-apa Mutia” jawabku. Aku dan Mutia kembali ke kelas. Hari
mulai siang, saatnya untuk pulang. Mutia sudah pulang oleh sopirnya. Aku
mengayuh sepedaku dengan gontai. Di tengah perjalanan, terlihat mobil
sebuah mobil menghampiri sepedaku. Mobil itu melaju kencang dan
menyenggol sepedaku hingga terjatuh.
Kaki dan tanganku berdarah. Pintu mobil itu pun terbuka, keluarlah 2
anak perempuan yang sepertinya tidak asing lagi di mataku. Mereka adalah
Jessica dan Claura! “Hei, anak kampung, jika kamu tidak menjauhi Mutia
kamu akan mendapat balasan dari kami. Inilah salah satu balasan dari
kami! Kalau masih saja kamu bersama Mutia, kami akan menghukummu lebih
dari ini. Kalau perlu, kami akan menghukum Mutia juga! Tapi untuk Mutia
akan lebih kejam! Kami tidak main-main!” ancam Jessica dilanjutkan oleh
anggukan kepala Claura.
“Tapi…” kata-kataku terputus. “Tidak usah tapi-tapian! Kami tidak mau
tau, kamu harus menjauhi Mutia!” ucap Claura ketus. Jessica dan Claura
pun kembali masuk ke mobilnya dan pergi. Aku bangun, dan kembali
mengayuh sepedaku menuju ke rumah. Aku langsung masuk ke kamarku sambil
menangis. Maafkan aku Mutia, aku terpaksa harus menjauhimu supaya kamu
tetap aman…, kataku dalam hati sambil menangis.
Ah… hari ini memang hari yang menyedihkan bagiku, Mutia yang selalu
membelaku sekarang harus kujauhi? Aku tidak rela, tapi… ini demi Mutia!
Aku tak mau Mutia dihukum oleh Jessica dan Claura! Keesokan hari yang
mendung… “Tiara, sekarang kan istirahat kita ke perpustakaan yuk!” ajak
Mutia. Aku hanya bisa pergi meninggalkan Mutia, karena sedari tadi aku
dan Mutia diawasi oleh Two Angels. Aku berlari ke taman belakang sekolah
sambil terus menitikkan air mata.
Aku menangis di bawah pohon rindang. “Maafkan aku Mutia…,” tangisku.
Aku menangis di bawah pohon rindang. “Maafkan aku Mutia…,” tangisku.
“Tiara! Kenapa kamu pergi dari aku? Maafkan aku kalau aku bersalah
padamu,” kata Mutia yang ternyata sedari tadi mengikutiku. Aku kembali
berlari… langit yang sedari tadi mendung, mulai menurunkan hujannya yang
dingin… Di tengah hujan, aku berlari menghindar dari Mutia… Mutia pun
terus mengejarku…
Di tengah hujan kami berlari saling mengejar. Hujan turun, makin
deras. Namun, tiba-tiba… Mutia terjatuh dan mulutnya mengeluarkan darah.
Tak lama ia tergeletak di tanah. Aku yang melihat kejadian itu langsung
berlari ke arah Mutia. “Mutia, kamu kenapa?” kataku khawatir. “Maafkan
aku Tiara… Aku telah lama punya penyakit yang tak ada obatnya… Jika aku
terkena hujan sambil aku berlari… Kondisiku akan melemah…,” cerita
Mutia.
“Maafkan aku juga Mutia telah menjauhi kamu…,” kataku. “Iya, gak
apa-apa… Selamat tinggal Tiara… Semoga persahabatan kita selalu ada
selamanya… Jaga dirimu baik-baik, Aku akan selalu ada di dalam hatimu
Tiara… Terimakasih atas segalanya,” kata Mutia. “Jangan ngomong seperti
itu, kamu pasti akan selalu ada bersamaku disini, di dunia ini!” kataku.
“Tidak Tiara, waktunya sudah tiba… Selamat tinggal sahabatku…,” kata
Mutia seraya memejamkan matanya.
“Tidak… tidak kita akan selalu disini di dunia ini Mutia…,” kataku.
Mutia tak bergeming. “Mut.. Mut… MUTIA!!” teriakku. Hujan membasahi
tubuhku dan Mutia yang telah tiada. Air mata berlinang tanpa henti.
Semua murid dan para guru berdukacita atas kepergian Mutia.
Selamat tinggal sahabatku, engkau akan selalu ada dalam hatiku. Aku
yakin, kamu akan selalu ada untukku disini, di sampingku. Selamat
tinggal, semoga engkau senang ada disana…
No comments: